E-COMMERCE
Kemajuan teknologi digital yang
dipadu dengan telekomunikasi telah membawa komputer memasuki masa-masa
"revolusi"-nya. Di awal tahun 1970-an, teknologi PC atau Personal
Computer mulai diperkenalkan sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan
seperangkat komputer yang dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang
manajer atau teknisi dapat memperoleh data atau informasi yang telah diolah
oleh komputer (dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan mini
computer, bahkan mainframe).
Kegunaan
komputer di perusahaan tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun lebih
jauh untuk mendukung terjadinya proses kerja yang lebih efektif. Tidak seperti
halnya pada era komputerisasi dimana komputer hanya menjadi "milik
pribadi" Divisi EDP (Electronic Data Processing) perusahaan, di era kedua
ini setiap individu di organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan komputer,
seperti untuk mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user
computing).
KEJAHATAN
BISNIS DALAM E-COMMERCE
Dalam beberapa dekade terakhir ini,
banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan
surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang
telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi
perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut
sifatnya masih sangat umum.
Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang
dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang
disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah,
perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan
pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan
membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex
specialist di luar KUH Pidana.
Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang
berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia
diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan
naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan
Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37).
Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000,
seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil
menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada
nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan
terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38).
Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai
cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu
kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu
diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri
nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol
situs pada internet.
Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear
Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua
setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152).
Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di
Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa
Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan
Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus
Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika
Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm
dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp.
4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002).
Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan
cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini
dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan
kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan
Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada
tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai
penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak
dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang
terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.
Jadi, Permasalahan
– permasalahan yang mendasar dalam e-commerce antara lain :
Pertama, di dalam dunia maya, virtualisasi
merupakan konsep utama yang mendasari bentuk dan struktur sebuah perusahaan. Di
dalam perusahaan virtual, aset-aset yang bersifat fisik sedapat mungkin
ditiadakan. Para pelanggan yang ada di seluruh dunia tidak berhadapan dengan
institusi melalui transaksi fisik yang melibatkan bangunan, orang, dan
benda-benda riil lainnya, melainkan hanya berhadapan dengan sebuah situs
elektronik. Cukup dengan uang $35 setahun (untuk memesan sebuah domain alamat),
sebuah perusahaan dapat berdiri dan menawarkan jasa atau produknya ke berbagai
negara, tanpa harus dibebani dengan berbagai urusan administratif. Penerapan
pasal-pasal cyberlaw yang mempersulit pendirian sebuah perusahaan akan mengurangi
niat pemain-pemain baru untuk mendirikan perusahaan virtual, yang artinya akan
membuat lesu industri di dunia maya.
Kedua, model bisnis yang diterapkan
cenderung menghilangkan segala bentuk mediasi. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena melalui jaringan internet, individu dapat dengan mudah melakukan
transaksi dengan individu lain (atau antar perusahaan) secara cepat. Fenomena
ini adalah bentuk sederhana dari sebuah pasar bebas dimana kedua pihak yang
bertransaksi secara sadar melakukan pertukaran jasa atau produk dengan resiko
yang disadari bersama. Penerapan pasal-pasal cyberlaw yang mengurangi
keuntungan maksimum yang selama ini didapatkan oleh kedua belah pihak yang
melakukan transasksi akan berakibat berkurangnya frekuensi dan volume bisnis di
internet.
Ketiga, batasan antara produsen dan
konsumen menjadi kabur. Istilah yang berkembang adalah "prosumer"
karena model bisnis yang ada di dunia maya memungkinkan seseorang untuk menjadi
produsen dan konsumen pada saat yang bersamaan (seperti kasus keanggotaan
American Online, E-Groups, Geocities, dsb.). Penerapan pasal-pasal cyberlaw
yang mendasarkan diri pada sistem ekonomi konvensional (seperti hukum
permintaan dan penawaran) akan mencegah tumbuhnya berbagai model bisnis yang
selama ini menjadi daya tarik dan keunggulan dari dunia maya.
Keempat, adalah suatu kenyataan bahwa
sebuah perusahaan virtual tidak dapat mengerjakan seluruh bisnisnya sendiri,
melainkan harus melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan virtual lainnya
(seperti merchants, content providers, technology vendors, dsb.). Hal ini
berakibat adanya ketergantungan antar perusahaan di internet yang sangat
tinggi. Penerapan pasal-pasar cyberlaw yang mempermudah sebuah perusahaan untuk
gulung tikar akan berakibat runtuhnya bisnis beberapa perusahaan lain yang
bergantung padanya.
Kelima, sumber daya utama yang mutlak
dibutuhkan dalam proses penciptaan produk dan jasa adalah pengetahuan
(knowledge). Karena pengetahuan pada dasarnya melekat pada sumber daya manusia
(unsur-unsur kreativitas, intelektualitas, emosional, dsb.), tidak mengenal
batasan negara, dan mudah dipertukarkan maupun dikomunikasikan, maka segala
bentuk proteksi menjadi tidak relevan dan efektif untuk diterapkan. Penerapan
pasal-pasal cyberlaw yang bersifat membatasi dan mengekang individu untuk
mempergunakan atau mempertukarkan pengetahuan yang dimilikinya akan berdampak
berkurangnya jenis produk atau jasa yang mungkin diciptakan.
Dari kelima prinsip utama di atas terlihat bahwa
perumusan dan pengembangan cyberlaw harus dilakukan secara ekstra hati-hati.
Dunia maya merupakan satu-satunya arena bisnis saat ini yang telah menerapkan
konsep pasar bebas dan globalisasi informasi secara hampir sempurna. Keberadaan
cyberlaw pada dasarnya sangat dibutuhkan bukan semata-mata untuk melindungi
hak-hak konsumen atau menegakkan keadilan dalam aturan main bisnis, namun lebih
jauh untuk mencegah terjadinya "chaos" di dunia maya. Karena walau
bagaimanapun, kekacauan di dunia maya akan berdampak secara langsung terhadap
kehidupan manusia di dunia nyata.
Penerapan cyberlaw yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar ekonomi digital dapat berakibat tidak berkembangnya model
transaksi bisnis modern ini. Pemikiran mengenai cyberlaw ada baiknya untuk
mulai dibuka dan dipandang serius. Hal ini sangat perlu dilakukan mengingat
banyaknya para praktisi hukum, manajemen, bisnis, dan teknologi informasi yang
ingin buru-buru menyusun dan membuat konsepnya tanpa pemahaman yang lengkap dan
memadai mengenai konsep perdagangan elektronik, atau yang lebih dikenal sebagai
e-commerce.
Gagal memahami dan mengerti mengenai bagaimana konsep
bisnis di dunia maya terjadi dapat membuat keberadaan cyberlaw menjadi
kontraproduktif. Implementasi cyberlaw yang pada mulanya ditujukan untuk
menggairahkan bisnis e-commerce tidak mustahil malah berdampak sebaliknya,
yaitu mematikan pertumbuhan konsep bisnis yang sedang menjadi trend di berbagai
belahan dunia. E-commerce merupakan salah satu varian dari e-business yang
hanya akan secara efektif beroperasi jika prinsip-prinsip ekonomi digital
dipenuhi.
Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce
sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan teknologi dan
sumber daya manusia dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus
yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban.
Thanks For Copying My Blog Article, Read more
Tidak ada komentar:
Posting Komentar