Senin, 18 Oktober 2010

Menipisnya Budaya Gotong Royong

Dengan adanya arus moderninasi dan globalisasi atau pengaruh budaya barat yang begitu deras dewasa ini, yang langsung bisa menembus hingga ke pelosok tanah air yang tidak bisa lagi mampu dibendung oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah, mengakibatkan adanya suatu perubahan yang sangat mendasar pada tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa terhadap budaya yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa ini, terutama budaya tradisional yang dikenal dengan sebutan budaya gotong royong yang menjadi kebanggaan bangsa. Dalam waktu yang relatif singkat telah berubah dengan kecepatan yang sangat tinggi menjadi sifat-sifat egoistis, individualistik dan sifat masa bodoh serta tidak mau lagi peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya, baik itu tetangga, teman dekat bahkan orang-orang yang hidupnya kurang beruntung. sifat-sifat seperti ini sudah mulai terlihat menonjol, sehingga budaya gotong-royong yang di masa lalu berdiri tegak, berangsur-angsur mulai menipis.

Banyak orang merasakan dan melihat bahwa perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini sama sekali tidak mendekatkan bangsa ini kepada tujuan perjuangannya, yaitu membuat masyarakat yang adil dan sejahtera. Bukannya berbagai kemunduran dapat diatasi, sebaliknya malahan makin meluas sebagaimana kurangnya kesejahteraan umum, kuatnya egoisme perorangan dan kelompok dan lainnya. Bahkan menguat sikap menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak dan mencapai tujuan. Keadaan ini ternyata tidak terjadi di Indonesia saja, tetapi hampir dirasakan di berbagai belahan dunia. Suasana politikpun ikut mempengaruhi menipisnya budaya dan semangat gotong-royong ini. Bila dilihat dari perkembangannya, kalau dulu suasana politik itu terlihat tenang karena kekuasaan tidak ditentukan oleh rakyat, seperti yang terjadi saat ini, sehingga tidak terjadi perebutan kekuasaan. Namun situasi telah berubah menjadi suasana politik yang oleh sebagian orang dikatakan lebih dinamis karena adanya kekuasaan yang ditentukan oleh rakyat sendiri. Ini ada baiknya, namun kadang-kadang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan permusuhan diantara rakyat sendiri dan muncul egoisme dan sifat individualistik yang ingin menang sendiri dan belum siap untuk kalah. Keadaan ini justru cukup menonjol.

Bila di masa lalu masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pedesaan atau penduduk rural, selalu dilindungi oleh adanya jaminan sosial, berupa budaya gotong-royong dan saling tolong-menolong diantara warga masyarakatnya, budaya itu terlihat begitu kentalnya, namun akhir-akhir ini budaya yang sangat baik itu kalau tidak hati-hati dan tidak ada yang memotivasi untuk membangkitkan kembali, dikhawatirkan akan berubah menjadi budaya yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan yang sifatnya sesaat. Hal ini sangat membahayakan bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara terutama bagi kesatuan dan persatuan bangsa.

Membangkitkan Kembali

Salah satu upaya untuk membangkitkan kembali budaya gotong-royong yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Haryono Suyono melalui Yayasan Damandiri adalah antara lain dengan pembentukan dan pembangunan pos pemberdayaan keluarga (Posdaya) di setiap desa atau pedukuhan. Strategi yang ditempuh adalah pembangunan berbasis masyarakat, dengan menempatkan manusia atau penduduk sebagai titik sentral pemberdayaan, dan prioritas pembangunan. Disini manusia diberikan peran yang cukup strategis dan diberikan kesempatan untuk membangun dirinya dan orang-orang di sekitarnya melalui kegiatan yang sifatnya bisa meningkatkan dan menghidupkan kembali semangat gotong-royong, yang akhir-akhir ini mulai mengendor. Untuk itu perlu adanya dukungan dari berbagai pihak, terutama dari instansi dan lembaga sosial kemasyarakat, untuk bersama-sama membangun kebersamaan dan menciptakan sesuatu yang berharga yang sebelumnya tidak atau belum terpikirkan. Mengobarkan semangat yang tinggi dan berusaha mewujudkan adanya budaya kerja keras yang ada manfaatnya dan mempunyai dampak nyata bagi masyarakat, bukan hanya dengan berbicara saja, tetapi ada buktinya di lapangan. Bila dimungkinkan berbagai pihak mau terjun ke lapangan untuk mengembangkan masyarakat yang berbudaya belajar, budaya membangun dan budaya kerja keras dalam bidang usaha dan akhirnya akan terbentuk budaya gotong-royong dan peningkatkan kehidupan yang lebih sejahtera. Dengan bahasa yang agak keren disebut “Prosperous Workfare Community”  atau masyarakat bekerja keras untuk menciptakan kesejahteraannya, bukan dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai atau BLT. Hilangnya semangat gotong-royong ini bisa dikurangi bila semangat kerja keras ini bisa dikembangkan dengan lebih baik.

Oleh : Mulyono Daniprawiro

menurut saya:
memang sudah jarang terlihat di berbagai tempat adanya gotong royong karena banyaknya aspek-aspek yang membuat kita jarang melakukan kegiatan gotong royang, seperti halnya masuknya budaya barat dalam negri kita, adanya sifat individualisme, dll
dan alhamdulillah saat ini kita sudah mempunyai yayasan damandiri gotong royong seperti halnya yang ditawarkan oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. dan semoga kita dapat mengembalikan budaya gotong royong yang sudah ada sejak dulu dan dapat mempersatukan baik antar warga maupun peduli dengan apa yang ada disekitar kita .;.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar